Jumat, 12 Juni 2015


  • Dari Aisyah Radhiallaahu’anha Rasulullah shallaahu’alaihiwasalam bersabda : “seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya adalah batil,batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” HR Abu Dawud 2083, Tirmidzi 1102, Ibnu Majah 1879, Ad`Darimi 2/137, Ahmad 6/47, 165, Syafi’I 1543, Ibnu Abi Syaibah 4/128, Abdur razaq 10472.
  • Dari Abu Musa al Asy’ari berkata : Rasulullah shallaahu’alaihiwasalam bersabda : “Tidak sah pernikahan kkecuali dengan wali” HR Abu Dawud 2085,Tirmidzi 1/203, IbnuMajah 1/580, Darimi 2/137, AtThahawi 2/5, Ibnu AbiSyaibah 4/131.

Sebuah pernikahan itu hanya sah jika melalui proses akad nikah. Dan yang namanya akad nikah itu hanya dilakukan oleh seorang ayah kandung dari seorang anak perempuan dengan calon menantunya. Akad nikah tidak pernah dilakukan oleh sepasang calon pengantin, apalagi oleh orang lain. Benarlah Rasulullah shallaallahu’alaihi wasalam ketika bersabda : Tidak ada akad nikah kecuali wali mursyid dan oleh 2 orang saksi yang adil. Siapapun wanita yang menjalani pernikahan tanpa ijin dari walinya, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil. Karena akad itu memang hanya dilakukan oleh 2 orang laki laki, yaitu ayah kandung dari anak perenpuan dan calon suami. Jika ayah kandung itu mengucapkan kepada calon suami :”aku nikahkan kamu dengan putriku, lalu calon suami menjawab : ya, maka tali ikatan pernikahan otomatis sudah terbentuk, jika kejadian tersebut disaksikan oleh 2 orang saksi yang memenuhi 6 syarat : Keduanya muslim, laki laki, merdeka, aqil, baligh, dan adil.
Siapapun tidak pernah punya hak melakukan akad yang bukan berada didalam wewenangnya. Kalaupun dilakukan juga, maka pernikahan tersebut tidak sah, baik secara hukum agama, apalagi hukum Negara. Kalau pasangan itu nekad kawin juga, bahkan melakukan hubungan suami istri, maka perbuatan itu merupakan perbuatan zina yang berhak untuk dirajam atau dicambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Siapapun yang mengangkat dirinya wali tanpa ijin sah dari ayah kandung, lalu menikahkan pasangan tersebut, maka berhak masuk neraka. Karena telah menghalalkan perzinaan, yang nyata dilarang oleh semua agama.
Ayah kandung tidak akan tergantikan kedudukannya sebagai wali hingga kapanpun. Meski ayah kandung tersebut tidak pernah memberi nafkah atau menghilang entah dimana rimbanya. Dan untuk sahnya sebuah pernikahan, tidak ada jalan lain buat anak perempuan kecuali ayah kandungnya saja yang berhak jadi wali. Bahkan seorang presidenpun tidak berhak mengambil alih wewenang dan hak atas anak perempuannya sebagai wali, terkecuali ada ijin dan keridhoan darinya.
Seorang perempuan tidak akan pernah bisa menikah dengan sah kecuali dengan ayahnya saja yang menjadi walinya. Terkecuali :
  • Dengan pemberian wewenang / hak perwalian.
  • Apabila seorang ayah kandung bersedia memberi hak perwaliannya kepada orang lain, baik orang tersebut masih ada hubungan keluarga atau tidak ada hubungan keluarga sama sekali, maka orang tersebut sah dan boleh, dan juga punya wewenang untuk menikahkan anak perempuannya.
Dengan gugurnya syarat sebagai wali. Jika ayah kandung tidak memenuhi syarat sebagai wali, maka hak untuk menjadi wali, akan turun kepada urutan wali berikutnya, dimana daftarnya sudah baku dan tidak bisa dibikin sendiri sendiri. dan syarat sebagai wali adalah :
  • 1. Muslim 
  • 2. Laki laki
  • 3. Aqil 
  • 4.baligh
  • 5.merdeka 
  • 6. Adil. 
Adapun ayah kandung tidak pernah memberikan nafkah, perhatian, kasih sayang, waktu serta pemeliharaan dan lain lain, maka tidak bisa dijadikan alasan untuk gugurnya hak sebagai wali. Missal ayah kandung adalah non muslim (kafir), atau dia murtad, maka haknya sebagai wali atas anaknya gugur dengan sendirinya. Atau jika dia menjadi gila atau hilang ingatan, maka syarat sebagai wali tidak terpenuhi, demikian gugurlah haknya untuk menjadi wali.
Dengan meninggalnya ayah kandung. Dengan meninggalnya ayah kandung maka otomatis dia tidak akan mungkin menjadi wali lagi. Maka yang berhak adalah wali yang berada pada urutan berikutnya dan seterusnya. Adapun urutan wali sah adalah :
  • Ayah kandung, kakek,
  • Saudara laki laki yang seayah dan satu ibu,
  • Saudara laki laki yang seayah saja (yang satu ibu lain ayah tidak bisa),
  • Anak laki laki dari saudara laki laki yang satu ayah dan satu ibu,
  • Anak laki laki dari saudara laki laki yang satu ayah saja,
  • Paman atau saudara laki laki ayah kandung, anaknya paman tersebut yang laki laki. 
Urutan diatas tidak bisa diacak acak. Dan urutan yang dibawahnya tidak bisa naik keurutan (mengambil alih posisi) diatasnya  selama urutan diatasnya masih ada. Tentunya dengan  6 syarat tadi, yang ia harus : muslim, laki laki, aqil, baligh, merdeka dan adil.
Al Iman Al Baghawi, berkata : mayoritas ulama dari kalangan shahabat Nnabi dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Hal ini merupakan pendapat Umar, Ali,Abdullah bin mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Said bin Musayyib, Hasan al Basri, Syuraih, Ibrahim an Nakhai, Qotadah, Umar bin abdul aziz dan sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Syubrumah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Abdullah bin Mubarok, Syafi’I, Ahmad, dan Ishaq. (syarh Sunnah 9.40-41). Termasuk ulama yang berpendapat seperti itu adalah Imam abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan, dua sahabat abu hanifah (syarah Ma’ani atsar ath Thahawi 3/7) Bahkan al hafidz ibnu hajar dalam Fathul Bari 9/187 menyebutkan dari Ibnu Mundzir bahwa tidak diketahui dari seorang sahabatpun yang menyellisihi hal itu. Adapun hikmah dari syarat wali nikah bagi wanita adalah menjaga kaum wanita karena mereka mudah tertipu oleh kaum lelaki (Al Mughni 9/347 Ibnul Qudamah. Diantara hikmahnya juga adalah untuk membendung jalan perzinaan, karena seorang pezina dengan amat mudahnya mengatakan kepada wanita : ikahkanlah aku dengan 10 dirham” dan saksinya adalah kedua temanku. (I’lam Muwaqqi’in Ibnul Qoyyim 5/59).
Asy syaikh Al Bani rahimahullah berkata : “kapan pendapat yang sesuai dengan hadits ini   nash Al Qur’an dan Sunnah. Semua kita membaca, dalam kitab kitab ushul ucapan para ulama “ Apabila ada dalil maka gugurlah pendapat”. Apabil ada dalil gugurlah logika. Tidak ada ijtihad apabila ada nash…” semua kaidah ini telah diketahui bersama. Lantas kapan kita menerapkan kaidah kaidah ini, malah menerapkan pendapat pendapat yang menyelisihi sunnah??” (Attasfiyyah wa tarbiyyah hal 25). Dahulu juga pernah dikatakan : “Tidak semua perselisihan itu dianggap kecuali perselisihan yang memiliki kekuatan dalil.”(Ucapan Abdul Hasan bin al Ashshar dalam qishidahnya tentang surat makiyyah dan madaniyyah dikitabnya An Nasihk wal Mansukh. Lihat Al Itqon fi Ulum Qur’an 1/24 oleh Al Hafidz as Suyuti).
GUGURNYA WALI
As Syaikhul Islam  Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifaq sekaligus. …sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya dibanyak negeri, tidaklah selalu menjaga sholat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkannya secara total. Mereka terkadang sholat dan terkadang meninggalkannya. Orang orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hokum Islam secara zhahir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) berlaku bagi orang yag munafiq tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang sholat dan kadang tidak”. (Majmu’ Fatawa 7/617).
Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat diantara kaum muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan sholat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan sholat karena MALAS dan tetap meyakini sholat lima waktu itu wajib, sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (lihat Nailul Author 1/369) mengenai “meninggalkan sholat karena malas malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tig pendapat diantara para ulama mengenai hal ini.
Untuk kasus yang sering dilakukan kaum muslimin sa’at ini yaitu tidak rutin dalam melakukan sholat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi secara dzohir( yang nampak pd dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat ishaq bin rohawey yaitu hendaklah bersikap lemah lembutu kpd orang semacam ini hingga dia kembali kejalan yang benar. Wal ibroh bil Khothimah (Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar